Ketiadaan benchmarking atau tolak ukur bursa kripto di dunia, membuat pemerintah gagal menghadirkan bursa kripto di Indonesia pada 2022.
Cyberthreat.id - Plt Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko menjelaskan, ketiadaan benchmarking atau tolak ukur bursa kripto di dunia, membuat pemerintah gagal menghadirkan dan menciptakan bursa kripto yang telah lama dijanjikan bakal hadir di Indonesia. Didid pun mengakui, hal ini menjadi catatan merah bagi Bappebti.
Sejauh ini, pihaknya telah berupaya keras membangun tata kelola ekosistem aset kripto di dalam negeri. Mulai dari keberadaan bursa, pengelola atau kustodian, kliring, pedagang fisik aset dan pelanggan untuk aset kripto di dalam negeri.
“Sampai (hari ini) kami belum berhasil membangun bursa kliring berjangka untuk aset kripto maupun kustodian untuk aset kripto. Ini catatan besar buat kami,” katanya dalam konpers Outlook Bappebti 2023, Jakarta dikutip Kamis (5/1).
Keterlambatan penciptaan bursa kripto juga terjadi karena upaya Bappebti yang mencari bentuk sempurna ekosistem ini ketika nantinya beroperasi.
Pemerintah ingin terus memastikan semua hal yang terkait dengan bursa, kustodian dan kliring aset kripto dapat memenuhi kriteria-kriteria yang baik.
Didid juga terang-terangan menyebut, ketiadaan bursa aset kripto juga telah menyulitkan Bappebti sendiri. Aset kripto juga telah memiliki pedagang fisik dan pembeli.
Dia mencontohkan, kasus kripto yang terjadi pada Zipmex dan FTX yang krisis dengan masing-masing pelanggannya pada 2022, membuat dirinya ‘sakit perut’.
Dia menjelaskan, ketika ada sedikit permasalahan di pedagang fisik ataupun pelanggan aset kripto, maka tanggung jawabnya akan diemban semuanya oleh Bappebti. Karena risiko tersebut tidak bisa dibagi dengan entitas lain, seperti bursa, kustodian dan kliring.
Untuk itu, ia menggarisbawahi, pihaknya akan berkeras menghadirkan bursa aset kripto sesegera mungkin. Sembari juga terus menyiapkan ekosistem yang berjalan ini akan bergerak sebaik mungkin.
“Mungkin dua hal ini akan kami upayakan bisa selesai di 2023, atau nanti akan kita tuangkan dalam Peraturan Pemerintah di masa peralihan Undang-undang P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan),” jelasnya.
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.