PHK di sektor digital disebabkan tekanan makro-ekonomi yang cukup berat pasca pandemi hingga tak siapnya perusahaan menghadapi perubahan regulasi.
Cyberthreat.id – Rumor beredar soal pemutusan hubungan kerja ribuan karyawan GoTo akhirnya terjawab. Secara resmi perusahaan mengumumkan memangkas 12% dari total karyawan tetap Grup GoTo atau sekitar 1.300 orang.
Center of Economic and Law Studies (Celios) melihat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor digital disebabkan tekanan makro-ekonomi yang cukup berat pasca pandemi, mulai dari kenaikan inflasi, tren penyesuaian suku bunga, pelemahan daya beli, risiko geopolitik dan model bisnis yang berubah signifikan.
Pascapandemi awalnya diharapkan akan terjadi kenaikan jumlah user dan profitabilitas layanan yang kontinu.
“Sebaliknya, harapan mulai pupus ketika konsumen terutama di Indonesia dan negara Asia Tenggara berhadapan dengan naiknya inflasi pangan dan energi sekaligus, sehingga mengurangi pembelian barang dan jasa melalui layanan platform digital,” kata Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (18/11).
Bhima menambahkan, hampir sebagian besar startup yang lakukan PHK massal disebut sebagai ‘Pandemic Darling’ atau perusahaan yang meraup kenaikan GMV (Gross Merchandise Value) selama puncak pandemi 2020-2021.
Karena valuasi nya tinggi, maka mereka dipersepsikan mudah cari pendanaan baru. Faktanya agresivitas ekspansi perusahaan digital ternyata saat ini tidak sebanding dengan pencarian dana baru dari investor.
“Banyak investor terutama asing menjauhi perusahaan dengan valuasi tinggi tapi secara profitabilitas rendah, atau model bisnis nya tidak sustain (berkelanjutan),” ucapnya.
Bhima juga menuturkan, fenomena overstaffing atau melakukan rekrutmen secara agresif jadi salah satu penyebab akhirnya PHK massal terjadi.
Banyak founder dan CEO perusahaan yang over-optimis, ternyata pascapandemi reda, masyarakat lebih memilih omnichannel bahkan secara penuh berbelanja di toko offline (hanya pembayaran pakai digital/mobile banking-transaksi dilakukan manual).
“Akibat overstaffing biaya operasional membengkak, dan menjadi beban kelangsungan perusahaan digital,” imbuhnya.
Ia juga mengatakan perubahan regulasi punya efek terhadap kelanjutan lini bisnis raksasa digital terutama di bidang keuangan.
Sejak adanya standarisasi QRIS, banyak pengguna dompet digital yang kembali ke mobile banking.
“Beberapa perusahaan tidak mengantisipasi adanya perubahan cara main (level of playing field) dari regulasi sehingga menekan berbagai prospek pertumbuhan,” ucap Bhima.
Belum lama ini, perusahaan yang bergerak di digital seperti Shopee, Pahamify, Zenius, Mamikos, Tanihub, hingga LinkAja pun tercatat juga melakukan PHK karyawannya.
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.