Yang belum dibahas sebanyak 228 DIM. Mayoritas berkaitan penyelenggaraan dan kelembagaan pengawas pelaksanaan UU PDP.
Cyberthreat.id – Anggota Komisi I DPR RI Mukhlis Basri mengatakan sebanyak 228 dari 371 daftar inventarisasi masalah (DIM) yang berisi materi pembahasan dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) belum dibahas oleh DPR dan pemerintah.
“Yang belum dibahas berjumlah 228 DIM. Mayoritas berkaitan dengan penyelenggaraan dan kelembagaan pengawas pelaksanaan UU PDP,” ujar Mukhlis Basri dikutip dari Antaranews.com, Rabu (8 Desember 2021).
Mukhlis mengatakan hal itu saat menjadi narasumber sedaring bertajuk “Urgensi Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dalam Era Digital untuk Menjamin Kepastian Hukum di Indonesia” yang disiarkan di kanal YouTube Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Basri menjelaskan beberapa perdebatan antara Komisi I DPR dan pemerintah terkait lembaga pengawas pelaksanaan RUU PDP sehingga menghambat penyelesaian pembahasan seluruh DIM.
Komisi I dan Badan Legislasi DPR RI, lanjut dia, mengusulkan agar dibentuk lembaga independen yang mengawasi pelaksanaan UU PDP. Lembaga itu akan menjadi regulator dan pengendali perlindungan data pribadi masyarakat Indonesia. Mereka juga mengawasi lembaga atau badan publik yang bertanggung jawab terhadap data-data tersebut.
Lembaga independen itu, katanya, diusulkan pula untuk bertanggung jawab langsung kepada presiden dan dipilih oleh anggota DPR RI.
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI mengusulkan lembaga pengawas berada di bawah kementeriannya. Selain itu, lembaga tersebut juga diusulkan untuk menjadi regulator saja dan bertanggung jawab kepada menteri komunikasi dan informatika.
Sejauh ini, Komisi I DPR baru menyelesaikan pembahasan 143 dari 371 DIM yang ada. DIM tersebut terdiri atas 125 DIM yang telah disetujui dan disepakati, 10 ditunda, 6 mengalami perubahan substansi, serta 2 usulan baru.
Basri berharap RUU PDP sebagai salah satu dari 40 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 dapat segera disahkan. “Undang-undang ini sangat dibutuhkan bagi kita,” katanya.[]
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.