"Kami melihatnya sebagai perang terhadap narasi Palestina, sebagai upaya untuk membungkam mereka berbicara tentang penindasan dan penderitaan mereka."
Cyberthreat.id - Aktivis Palestina berpendapat media sosial menyensor kritik terhadap Israel. Terutama Facebook dan Instagram yang ditudung telah menghapus postingan politik.
Organisasi hak digital 7amleh yang meluncurkan situs web bernama 7or pada Senin lalu, mengatakan sejauh ini telah mendokumentasikan 746 pelanggaran hak pada tahun 2021.
"Kami melihatnya sebagai perang terhadap narasi Palestina, sebagai upaya untuk membungkam mereka berbicara tentang penindasan dan penderitaan mereka," kata pendiri 7amleh Nadim Nashif kepada Reuters, Kamis 4 November 2021.
Sementara aktivis dan penulis Palestina Mohammed El-Kurd mengatakan pandangan dari postingannya di Instagram, di mana ia memiliki 744.000 pengikut, menurun secara dramatis selama protes Palestina pada Mei di Sheikh Jarrah, sebuah lingkungan Yerusalem di mana orang-orang Palestina berisiko kehilangan rumah mereka karena pemukim Yahudi.
"Saya telah lama mencurigai pembungkaman akun saya yang tidak berdasar ini. Pemerintah Israel jelas terancam oleh suara-suara Palestina," kata El-Kurd.
Pengguna media sosial Tala Ghannam mengatakan postingannya telah dihapus dari Facebook dan Instagram karena melanggar pedoman komunitas, terutama yang diberi tag "#SaveSheikhJarrah" untuk mendukung keluarga Palestina yang berisiko diusir.
"Saya merasa pada saat itu bahwa saya tidak memiliki hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi," kata Ghannam.
Facebook menanggapi permintaan komentar Reuters dengan merujuk pada pekerjaan Dewan Pengawas independennya. Dewan, pada September lalu, meminta untuk memoderasi konten bahasa Arab dan Ibrani untuk ditinjau untuk potensi bias. Perusahaan mengatakan akan menerapkan rekomendasi dari tinjauan itu.
Selama perang Mei antara Israel dan militan Palestina di Gaza, Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz mendesak para eksekutif Facebook untuk lebih proaktif dalam menghapus konten dari "elemen ekstremis”.[]
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.