Dari kodifikasi ini kita bisa melihat apa yang kurang dari suatu hukum, sehingga ketika ada pembaruan hukum yang baru tidak terjadi saling tumpang tindih.
Cyberthreat.id – Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edmon Makarim, mengatakan, Indonesia perlu membangun sistem kodifikasi hukum nasional untuk mencegah terjadinya tumpang tindih antarperaturan yang ada.
Edmon mengaku telah mengembangkan sendiri sistem seperti itu demi keperluan pencarian konten hukum. Sistem seperti ini harusnya bisa dikembangkan secara nasional.
“Tujuana sistem ini untuk membantu masyarakat mencari informasi terkait hukum dan menjadi alat untuk mengetahui tumpang tindih peraturan perundang-undangan, ujar Edmon dalam talk show bertajuk “Inovasi Teknologi di Masa Pandemi: Solusi untuk Negeri” yang diselenggarakan oleh Cyberthreat.id melalui aplikasi telekonferensi video Jumpa.id, Senin (2 November 2020).
"Dari kodifikasi ini kita bisa melihat apa yang kurang dari suatu hukum, sehingga ketika ada pembaruan hukum yang baru tidak terjadi saling tumpang tindih dengan yang sebelumya.”
Edmon berharap di tengah kemajuan teknologi yang ada, pemerintah dan pemangku kepentingan dapat mengembangkan sistem hukum dengan melakukan sinkronisasi serta hamonisasi demi mengembangkan sistem hukum nasional yang mandiri dan sesuai jati diri bangsa Indonesia.
"Intinya, jika bicara keterkinian teknologi via internet, maka kita harus bersama meyakini apakah penguasaan kita terhadap faktor faktor produksi dan sumber dayanya sudah dilaksanakan secara mandiri," ujar Edmon juga pakar telematika hukum UI.
Edmon juga menyinggung sindiran sejumlah kalangan yang mengatakan jika hukum saat ini terlambat menyikapi perkembangan teknologi.
“Mungkin yang sebenarnya dimaksud adalah regulasi yang bersifat implementatif dalam penyesuaian. Tetapi, prinsip hukum sampai nanti akan tetap sama,” kata dia.
Adanya pandemi Covid-19 membuat banyak sektor melakukan tranformasi digital, tak terkecuali di sektor hukum, yaitu terselenggaranya persidangan di pengadilan secara daring.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.