Masker bernama “C-mask” itu bisa mengirimkan pesan dan menerjemahkan dari bahasa Jepang ke delapan bahasa lainnya.
Cyberthreat.id – Ketika masker menjadi budaya baru di tengah pandemi Covid-19, sebuah perusahaan rintisan Jepang Donut Robotics mengembangkan "masker pintar" yang terhubung ke internet.
Masker bernama “C-mask” itu bisa mengirimkan pesan dan menerjemahkan dari bahasa Jepang ke delapan bahasa lainnya.
"C-mask" terhubung melalui Bluetooth ke aplikasi smartphone dan tablet yang dapat menerjemahkan ucapan ke dalam pesan teks, melakukan panggilan, atau memperkuat suara pemakai masker.
Menurut perusaahaan, 5.000 unit masker pintar akan dikirim ke pembeli di Jepang mulai September 2020.
Tak hanya itu, perusahaan juga ingin menjual masker pintarnya ke China, AS, dan Eropa. “Memang ada keinginan yang kuat [untuk menjual ke sana],” kata Taisuke Ono, CEO Donut Robotics seperti dikutip dari Reuters, yang diakses Senin (30 Juni 2020).
Masker pintar dijual seharga US $ 40 atau sekitar Rp 574 ribu.
Donut Robotics menciptakan prototipe masker pintar tersebut dalam waktu sebulan. Sementara, perangkat lunak terjemahan sebetulnya telah dikembangkan perusahaan sejak empat tahun lalu.
Ketika pandemi menyerang Jepang, sebetulnya perusahaan baru saja mendapatkan kontrak kerja untuk memasok robot penerjemah dan pemandu ke Bandara Haneda Tokyo—tapi, nasib robot ini menghadapi masa depan yang tak pasti setelah aktivitas bandara jatuh karena pandemi.
"Kami telah bekerja keras selama bertahun-tahun untuk mengembangkan robot," kata Ono.
Ono mengatakan, perusahaannya mengumpulkan dana sebesra 28 juta yen (US$ 260.000) untuk pengembangan masker pintar dengan menjual saham Donat Robotics melalui situs crowdfunding Jepang Fundinno.
"Kami menaikkan target awal kami 7 juta yen dalam waktu tiga menit dan berhenti setelah 37 menit ketika kami telah mencapai 28 juta yen," kata dia.[]
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.