Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya hingga 4 Mei 2020 menangani 443 kasus berita bohong alias hoaks dan ujaran kebencian.
Jakarta, Cyberthreat.id – Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya hingga 4 Mei 2020 menangani 443 kasus berita bohong alias hoaks dan ujaran kebencian.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Yusri Yunus mengatakan 443 kasus tersebut dikumpulkan selama April dan awal Mei 2020.
"Penyelidikan bersama polres di wilayah hukum Polda Metro Jaya selama April sampai Mei ada 443 kasus, kemudian penyidikan dan pengungkapan tindak pidana tersebut yang sudah kami ungkap ada 14 laporan," kata Yusri di Polda Metro Jaya, Senin (4 Mei) seperti dikutip dari Antaranews.com.
Dari 14 laporan yang berhasil diungkap, penyidik menetapkan 10 orang sebagai tersangka. Adapun rincian laporan kasus hoaks yang ditangani baik oleh Polda Metro Jaya dan jajaran polres sebagai berikut:
Yusri mengatakan, hoaks tersebut disebarkan dengan menggunakan akun palsu di media sosial dan aplikasi pesan instan WhatsApp.
Selain hoaks soal virus corona (Covid-19), Yusri menjelaskan para pelaku juga membuat ujaran kebencian tentang pejabat hingga Presiden Joko Widodo.
Yusri kemudian memberi contoh mengenai salah satu laporan Ditreskrimsus dengan Laporan Polisi Nomor :LP/1863/III/YAN.2.5./ 2020/SPKTPMJ tanggal 19 Maret 2020.
Laporan itu terkait unggahan dari akun Twitter atas nama lsandilaa dengan mencatut media CNN Indonesia dengan keterangan: “ANTISIPASI CORONA, SELURUH BUMN DKI DITUTUP” “Erick: Penutupan Berlangsung Selama 2 Minggu”.
Setelah dilakukan penyelidikan dan penyidikan, Anggota Subdit IV/Tindak Pidana Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya berangkat ke Kota Brebes, JawaTengah, untuk melakukan pemeriksaan terhadap tiga orang yang saat ini masih berstatus saksi, yakni LMS, AH dan ANA.
Para pelaku dijerat dengan Pasal 28 UU ITE Juncto Pasal 45, lalu Pasal 207 dan 208 Ayat 1 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa di muka umum dengan ancaman hukuman bervariasi mulai dari 6-10 tahun.[]
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.