Pemerintah belum mampu meyakinkan publik telah berupaya maksimal dan all-out melawan Covid-19 termasuk memastikan aliran informasi yang valid dan rapi
Cyberthreat.id - Analis keamanan dan intelejen Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta melihat berbagai opini, terutama di media sosial, berupaya menggiring persepsi yang menyudutkan pemerintah yang dianggap lambat dalam menangani pandemi Covid-19. Pemerintah, kata dia, sudah berusaha memberikan informasi kepada publik, tetapi langkah itu memang belum bisa dianggap maksimal.
"Memang tidak semua data bisa langsung dipublikasikan, ada pertimbangan strategis tertentu terkait distribusi data dan informasi tersebut," kata Stanislaus kepada Cyberthreat.id, Senin (27 April 2020).
"Tapi, pemerintah memang perlu meyakinkan kepada publik bahwa pemerintah all-out dalam melawan Covid-19 ini. Caranya dengan memberikan informasi yang lugas dan konsisten dari pusat hingga daerah."
Lembaga riset ekonomi Indef bersama Data Catalyst pada Minggu (26 April 2020) merilis hasil Riset Big Data terkait penanganan pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19. Riset yang dilakukan dua bagian itu menyimpulkan pemerintah mendapatkan sentimen negatif di media sosial dalam berbagai isu seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), isu mudik, pembebasan listrik, aturan penghinaan presiden, dan kartu pra kerja.
Riset Big Data Indef dan Data Catalyst
Bahkan, di bagian akhir hasil laporan riset menyatakan sentimen negatif terhadap pemerintah diprediksi membesar karena masih ada isu lanjutan yang sangat mengganggu seperti isu perbincangan tentang pengangguran karena Covid-19, isu jaring pengaman sosial, hingga isu pengunduran diri staf khusus milenial presiden.
"Pemerintah melalui Presiden, Menteri Kesehatan atau Jubir Gugus Tugas sudah memberikan informasi kepada publik, sementara antara pemerintah pusat dan daerah hingga tingkat desa belum satu suara dan satu irama gerak."
"Inilah yang dibicarakan di medsos," tegasnya.
Peran Media
Kekurangan lainnya adalah pemerintah belum mampu membangun database yang terintegrasi bagi semua pihak yang memerlukan data dan informasi, yang tersedia secara terbuka dalam satu sumber valid.
Kebutuhan informasi di masa pandemi sangat krusial dan berdampak ke berbagai sektor. Covid-19, kata dia, selain menimbulkan korban jiwa dalam waktu cepat, juga mempunyai dampak beruntun ke ekonomi, keamanan, dan politik.
"Jika informasi tidak bisa diperoleh dari sumber pemerintah, maka kebutuhan itu akan diisi dari sumber lain yang belum tentu akurat."
Peran media juga dinilai sangat krusial terutama dalam menjernihkan informasi. Di media sosial, cukup banyak opini yang menyesatkan sehingga sentimen negatif bisa saja dipupuk menjadi konflik di dunia nyata.
Media massa, terutama media cyber, mempunyai peran sentral untuk distribusi informasi yang membangun kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Menurut Stanislaus, jika informasi bias atau tidak tepat, maka bisa berdampak sebaliknya, masyarakat tidak percaya kepada pemerintah, muncul distrust (ketidakpercayaan), dan situasi akan berkembang.
"Jadi memang benar salah satu faktor penting dalam penanganan Covid-19 adalah media."
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.