Cheng Jingye, menyebut penolakan Australia terhadap teknologi 5G Huawei di Negeri Kangguru itu sebagai tindakan yang melukai hubungan kedua negara.
Cyberthreat.id - Duta Besar China untuk Australia, Cheng Jingye, menyebut sikap Australia yang menolak Huawei membangun jaringan 5G di Negeri Kangguru itu sebagai tindakan yang melukai hubungan China-Australia.
Dilansir dari The Guardian, Senin, (17 Februari 2020), Cheng Jingye lebih jauh menyebut Australia melakukan diskriminasi terhadap Huawei. Ia juga menepis kekhawatiran Australia jika Huawei dapat menimbulkan ancaman bagi keamanan nasional Australia.
"Maksud saya, ini diskriminasi terhadap perusahaan China. Pada saat yang sama, tidak melayani kepentingan terbaik perusahaan dan konsumen Australia," kata Jingye.
Jingye mengatakan, pemerintah China sudah mencoba berbagai cara untuk berbicara dengan pihak berwenang Australia untuk mengeksplorasi risiko atau hal apa yang menjadi kekhawatira Australia, termasuk dugaan adanya backdoor pada perangkat milik Huawei yang memungkinkan perusahaan memata-matai komunikasi.
Seperti diketahui, Pemerintah Australia melakukan blacklist pada Huawei dan ZTE dari jaringan 5G Australia pada Agustus 2018 sebagai tanggapan terhadap saran keamanan.
Amerika Serikat juga telah melarang Huawei, dan memperingatkan bahwa sekutu-sekutu Eropa yang menggunakan teknologi komunikasi yang disediakan oleh Huawei dalam jaringan telekomunikasi mereka akan membahayakan hubungan intelijen. Salah satu negara yang akhirnya menggunakan teknologi Huawei adalah pemerintah Inggris.
Cheng mengatakan kepada Sky News bahwa pihaknya percaya pemerintah Inggris telah membuat keputusan yang tepat, untuk tidak tunduk pada tekanan eksternal dari negara-negara yang mengkritik Huawei.
Cheng juga berulangkali menyangkal bahwa China berada di balik serangan dunia maya baru-baru ini di jaringan Australia. Ia mengatakan tuduhan itu tidak memiliki bukti kuat.
“Kami telah mengalami banyak serangan dari berbagai belahan dunia. Jadi keamanan dunia maya adalah tantangan internasional, yang kita perlu bekerja sama alih-alih membuat tuduhan yang tidak berdasar," kata Jingye.[]
Editor: Yuswardi A. Suud
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.