Sepanjang tahun lalu, Google Play Protect telah memindai sedikitnya 100 miliar aplikasi di perangkat Android tiap hari.
Cyberthreat.id – Google, perusahaan raksasa teknologi juga pengembang sistem operasi Android, mengklaim telah mencegah sebanyak 1,9 miliar percobaan pemasangan malware di Google Play Store pada 2019.
Pemindaian malware tersebut dilakukan dengan Google Play Protect, fitur perlindungan atau keamanan yang dibangun di sistem operasi Android. Fitur ini dipasang untuk melindungi perangkat dan data dari malware atau ancaman lain—baik itu dari aplikasi yang diunduh dari toko resmi maupun sumber lain.
Pada tahun lalu, Google Play Protect juga mengklaim telah memblokir 790.000 pengiriman aplikasi yang melanggar kebijakan sebelum dipublikasikan di Google Play Store.
Sepanjang tahun lalu, Google Play Protect telah memindai sedikitnya 100 miliar aplikasi di perangkat Android tiap hari, demikian ujar Google baru-baru ini seperti dikutip dari SecurityWeek, Rabu (12 Februari 2020).
Tak hanya itu, bulan lalu, Google juga mengklaim telah menghapus sekitar 1.700 aplikasi unik dari toko aplikasinya seperti “Bread” dikenal sebagai “Joker” yang termasuk aplikasi berbahaya.
“Selama beberapa bulan terakhir saja, peneliti keamanan mengidentifikasi dalam aplikasi toko yang mencoba mengeksploitasi zero-day baru-baru ini. Atau, malware yang diunduh yang akan terlibat dalam berbagai bentuk penipuan iklan,” tutur Google.
Google juga mengklaim bahwa mereka telah meningkatkan proses persetujuan pengembangnya sepanjang 2019 dan juga memperkuat kolaborasi dengan industri keamanan melalui App Defense Alliance.
“Kami bangga dengan apa yang dapat kami capai dalam kemitraan dengan komunitas pengembang kami. Kami tahu masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Aktor jahat akan terus menemukan cara baru untuk menghindari sistem deteksi kami dan membahayakan pengguna demi keuntungan mereka sendiri,” jelas Google.[]
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.