Europol berhasil menangkap 11 orang yang terlibat dalam praktik pemalsuan dan penyebaran mata uang euro palsu di darknet.
Cyberthreat.id – Europol, badan khusus Uni Eropa yang menangani masalah kriminalitas, menangkap 11 orang terkait dengan kejahatan online di internet bawah tanah (darknet).
Europol sejak 9-11 Desember 2019 melakukan operasi gabungan menindak penjualan mata uang kertas euro palsu di platform ilegal di darknet—hanya bisa diakses dengan browser khusus, misalnya, Tor.
Penegak hukum dari tujuh negara anggota Uni Eropa bekerja sama melakukan penggeledahan terhadap 36 rumah dan melakukan interogasi terhadap 44 terduga pelaku. Dari jumlah itu, 11 orang telah ditangkap.
Europol juga telah menyita barang-barang bukti, seperti mata uang kertas euro, obat–obatan yang dibeli secara ilegal, senjata, zat doping, dokumen palsu, dan mata uang virtual, demikian seperti dikutip dari situs web Europol, yang diakses Rabu (18 Desember 2019).
Petugas juga mengungkap toko cetak dokumen rahasia di Jerman. Di Jerman, petugas menggeledah 27 rumah, selanjutnya melakukan penggerebekan sembilan rumah di Austria, Yunani, Irlandia, Luksemburg, dan Spanyol.
“Kegiatan bersama ini dimulai ketika Polisi Kehakiman Portugal (Polícia Judiciária) membongkar toko cetak digital pada Juli 2019,” demikian tulis Europol.
“Operasi yang didukung Europol tersebut menangkap lima orang yang diduga memproduksi dan mendistribusikan uang kertas palsu 10 dan 50 euro melalui darknet.”
Menurut Europol, dari hasil temuannya, tercatat lebih dari 26.000 uang kertas palsu dikirim ke pembeli di seluruh Eropa. Europol menyebut kelompok kriminal ini sebagai produsen mata uang palsu terbesar kedua yang beroperasi di darknet sejauh yang berhasil diidentifikasi.
Keterangan: cara membedakan mata uang euro asli dan palsu. | Sumber: Europol
Redaktur: Andi Nugroho
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.