Di ruang media sosial, mereka menyebarkan berita palsu (hoaks) dan informasi provokatif yang bertujuan menyebarkan fakta-palsu dan menggiring opini publik,
Jakarta, Cyberthreat.id – Hadirnya para pendengung di media sosial (buzzer) yang masif dinilai justru dapat mengancam keamanan nasional di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Penelitian Keamanan Nasional Universitas Bhayangkara, Prof Hermawan Sulistyo kepada Cyberthreat.id di sela-sela acara diskusi di Jakarta, Senin (2 Desember 2019).
Menurut Kiki, panggilan karibnya, saat ini media sosial, seperti Facebook dan Twitter telah menjadi medan perang siber. Di ruang tersebut, mereka menyebarkan berita palsu (hoaks) dan informasi provokatif yang bertujuan menyebarkan fakta-palsu, menggiring opini publik, dan memanipulasi pengguna medsos untuk mengikuti keinginan dari si penyerang.
Kondisi seperti itu, kata Kiki, sangat mengkhawatirkan. Jika hal ini terus dibiarkan, kehadiran buzzer akan menjadi ancaman serius pada ketahanan nasional di Indonesia. Terlebih pada masa-masa genting, seperti pemilihan presiden, dapat memecah belah bangsa dan mengancam proses demokrasi di Indonesia.
Belum lagi, kata dia, banyak masyarakat yang sangat mudah memercayai apa yang ada di media sosial tanpa mencari tahu kebenaran dari sebuah informasi.
“Kasus serupa bisa kita lihat diamati melalui insiden Saracen dan saat Pilpres 2019. Kita lihat bagaimana kerja buzzer memecah belah masyarakat Indonesia melalui konten-konten di media sosial,” ujar dia.
Sulit Diatur
Kiki mengatakan, akan sangat sulit jika pemerintah ingin mengatur buzzer dengan penerapan regulasi medsos atau penggunaan identitas asli untuk akun medsos. Justru, jika hal itu dilakukan, mereka akan sangat mungkin menggunakan server dari luar negeri agar tetap bisa menggunakan medsos dan menyebarkan isu-isu yang mereka inginkan.
“Sekarang teknologi sudah semakin canggih, mau dilarang dan diatur seperti apa saja tetap saja akan sulit untuk tidak membiarkan mereka hadir,” kata dia.
Salah satu cara yang bisa dilakukan, menurut dia, adalah Indonesia harus mandiri dengan memproduksi wacana sendiri. Wacana mengenai persatuan, pruralisme, kemajemukan. “Dan memberikan literasi kepada masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi dengan hate speech dan juga fake information,” kata dia.
“Yang salah dari kita adalah selama ini kita melawan buzzer dengan kebencian, yang harus kita lakukan ketika mereka share hal-hal negatif, kita lawan dengan konten yang positif,” Kiki menambahkan.
Kiki juga mengatakan, saat ini dirinya tengah membuka posko untuk masyarakat guna memproduksi konten-konten positif untuk melawan informasi negatif yang disebarkan oleh buzzer.
Redaktur: Andi Nugroho
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.