Pemerintah belum menyerahkan Daftar Inventaris Masaalah kepada anggota pansus
Jakarta, Cyberthreat.id- Anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (Pansus RUU KKS) Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, pembahasan mengenai RUU KKS bisa ditunda ke periode berikutnya, masa bakti Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Periode 2019-2024.
Salah satu alasannya, karena pemerintah belum menyerahkan Daftar Inventaris Masaalah (DIM) yang menjadi salah satu objek dari RUU KKS tersebut.
“Iya besok, Jumat, (27/9), rapat pansus sibernya. Posisi, lagi menunggu DIM dari pemerintah, sebagai syarat dalam UU pembentukan UU, untuk bisa di carry over di periode berikut, 2019-2024,” kata Bobby melalui pesan singkat, Kamis, (26 September 2019).
Menurut Bobby, draft RUU KKS memiliki keumungkinan untuk bisa berubah. Hal itu terjadi, kalau sudah menerima DIM dari pemerintah serta pertemuan lanjutan antara pemerintah dan Pansus RUU KKS.
“Nanti ada perdebatan di situ. Jadi, nanti apa yang ada dalam draft tersebut bisa berubah, setelah kita lakukan pembahasan nanti,” ujar pria yang juga merupakan Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar tersebut.
Sebelumnya, melalui akun Twitter pribadinya, Direktur Eksekutif Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto, mencuit tentang beberapa kejanggalan RUU yang mengatur tentang Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tersebut.
“Jika RUU KKS disahkan hari Senin, 30 September 2019 ini akan pecahkan rekor pembuatan UU tercepat di Indonesia. Lebih cepat dari UU KPK. Dibuat hanya dalam 5 hari!” cuit Damar.
Secara garis besar, menurut SAFEnet, ada empat isu utama yang patut mendapat perhatian publik, yakni berpotensi mengancam privasi dan kebebasan berekspresi, membatasi perkembangan teknologi yang melindungi hak asasi, menghalangi kapasitas individu dalam meningkatkan keamanan siber, dan minim partisipasi multistakeholder.
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.