BPPT sedang mengembangkan sebuah sistem untuk mengenali virus dan malware dengan teknologi kecerdasan buatan.
Jakarta, Cyberthreat.id – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sedang mengembangkan sebuah sistem yang bisa dipakai untuk mengenali virus dan malware dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Direktur Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT, Michael Andreas Purwoadi, mengatakan, pengembangan sistem itu telah berjalan selama dua tahun terakhir.
“Kami sebut itu dengan Cybersecurity Intelligence. Kami berharap ini bisa digunakan secara meluas mulai dari pemerintah sampai dengan sektor privat,” ujar Michael saat ditemui oleh Cyberthreat.id di Auditorium BPPT, Kamis (19 Agustus 2019).
Michael mengatakan, alasan dibuatnya Cybersecurity Intelligence lantaran saat ini data mengenai virus dan malware yang menyerang instansi di Indonesia disimpan oleh pihak-pihak yang mengurus cybersecurity masing masing intitusi. Dengan pola seperti, pemerintah sangat sulit memetakan serangan apa yang pernah terjadi.
“Kami sangat ingin mengintegrasikan semua sistem, serangan apa yang diterima. Jadi, akan lebih mudah untuk mengantisipasinya. Kalau saat ini masih terpisah-pisah, misal, menggunakan (perusahaan cybersecurity asal California, AS) Cisco, ya data serangan kan disimpan Cisco” kata Michael.
Tak hanya itu, BPP juga berencana melakukan presentasi pengembangan sistem tersebut ke Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Dengan harapan, kata dia, BSSN bisa memberikan sebuah aturan kepada para instansi dan lembaga di pemerintahanan untuk menggunakan sistem yang sudah disiapkan oleh BPPT tersebut.
“Nanti setelah RUU KKS (Keamanan dan Ketahanan Siber) disahkan, kami akan coba untuk melakukan presentasi kepada BSSN terkait dengan Cybersecurity Intelligence in. Dengan harapan, semua bisa memakai ini,” ujar dia.
Redaktur: Andi Nugroho
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.