Menkominfo Rudiantara mengatakan penanganan konten asusila yang besifat “abu-abu” tidak efisien jika dipaksakan untuk dibawa ke ranah hukum.
Jakarta, Cyberthreat.id – Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Rudiantara, mengatakan, penanganan konten asusila yang besifat “abu-abu” tidak efisien jika dipaksakan untuk dibawa ke ranah hukum.
“Persoalan asusila dan pornografi seringkali bersifaf abu-abu. Untuk itu berkaitan dengan konten yang masih bersifat abu-abu ini, Kementerian Kominfo lebih memilih untuk melakukan pembinaan kepada pembuat konten ketimbang langsung menindak,” ujar Rudiantara di Sarasehan Nasional bertajuk “Penanganan Konten Asusila di Dunia Maya” di Jakarta, Senin (12 Agustus 2019).
Menurut dia, sifat abu-abu tersebut menyangkut perbedaan pandangan terkait definisi tindak asusila maupun pornografi itu sendiri. Misalnya, bagi satu pihak merasa tidak nyaman dengan konten yang mengandung tindakan asusila, tapi pihak lain tidak. Terlebih lagi, jika hal tersebut berkaitan dengan nilai budaya yang ada di Indonesia.
Ia mengingatkan kepada para pembuat konten untuk senantiasa berpikir dan mempertimbangkan konten yang akan disebarkannya di ruang publik agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat.
“Siapa pun yang mau mem-posting konten agar tidak menjadi polemik nantinya, harus senantiasa berpikir pengguna internet di Indonesia itu kebanyakan itu anak muda dan anak-anak,” ujar Rudiantara sambil mengutip data dari Survei APJII 2018.
Pengguna internet menurut Survei APJII pada 2018.
Pengamat teknologi informasi juga dosen STIE Perbanas Ronny mengatakan, jika pengguna media sosial merasa terganggu dengan konten asusila dan pornografi di medsos, mereka bisa langsung melaporkan. Namun, tetap harus melihat ruang dan isi muatan kontennya yang memenuhi unsur-unsur Pasal 27 Ayat 1 UU ITE.
Sekadar diketahui, sepanjang 2019 kasus tindakan asusila, termasuk pornografi yang dilaporkan ke Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri telah mencapai 180 kasus.
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.