Polda Metro Jaya Jakarta menangkap pelaku berinisial AAP atas kasus tindak pidana pornografi anak yang melakukan aksinya bermula dari aplikasi game online.
Jakarta, Cyberthreat.id – Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono mengatakan kepolisian masih menunggu data dari Facebook untuk menyelidiki kasus child grooming atau pelecehan anak yang dilakukan oleh oknum melalui game online Hago.
Argo mengatakan apabila sudah mendapatkan data tersebut, yang berupa nomor-nomor ponsel yang dipakai pelaku, kepolisian akan melakukan penyelidikan untuk mengetahui ada tidaknya tersangka baru selain AAP.
Menurut Argo, seperti dikutip dari Antaranews.com, Selasa (6 Agustus 2019,) ada tiga grup WhatsApp dengan total anggota sekitar 400 orang, yang menyebarkan video pornografi dan pelecehan anak.
Apabila ada pasal yang dilanggar dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Argo menyatakan itu akan membantu untuk menetapkan tersangka baru.
Sebelumnya, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Jakarta menangkap seorang pelaku berinisial AAP atas kasus tindak pidana pornografi anak yang melakukan aksinya bermula dari aplikasi game online.
Modus yang dilakukan berupa mendaftarkan diri di aplikasi game online Hago untuk mendapatkan targetnya dari kalangan anak-anak perempuan berusia 9-15 tahun.
Setelah itu, pelaku meminta nomor ponsel target untuk mengirim pesan dan melakukan video call lewat aplikasi WhatsApp.
Dalam video call tersebut, pelaku mengarahkan korban untuk membuka pakaiannya, melakukan masturbasi, dan tindakan asusila lainnya. Kegiatan tersebut direkam oleh pelaku sebagai ancaman jika korban menolak untuk melakukan kembali yang diminta pelaku.
Maka dari itu, kepolisian hingga saat ini masih menunggu data dan nomor-nomor ponsel para pelaku dari Facebook selaku pemilik WhatsApp.
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.