Sampai Juli 2019 peningkatan kasus penipuan online cukup signifikan mencapai 150 persen
Jakarta, Cyberthreat.id - Karopenmas Divhumas Polri Brigjen. Pol. Dedi Prasetyo menyatakan setiap tahunnya peningkatan kasus penipuan online mencapai 100 persen.
Kecenderungan seperti itu terjadi empat tahun terakhir sejak tahun 2015. Salah satu penyebab bertambahnya kasus maupun laporan karena pengguna media sosial terus meningkat.
"Penipuan online setiap tahun meningkat hampir 100 persen. Bahkan di tahun 2019 ini, sampai bulan Juli telah meningkat 150 persen dibanding tahun lalu," kata Brigjen Dedi saat konferensi pers di Bareskrim Polri, Senin (8 Juli 2019).
Tren kejahatan siber, kata dia, terjadi dalam berbagai macam modus operandi. Mulai dari hoaks, ujaran kebencian, penghinaan hingga kejahatan penipuan dan sebagainya.
Brigjen Pol Dedi mengatakan tren kejahatan siber ini terjadi di seluruh wilayah Indonesia.
"Jadi bisa saja korban di wilayah A, tapi pelaku di wilayah lain. Inilah salah satu kepandaian mereka," ujarnya.
Kasubdit 1 Ditipidsiber Bareskrim Mabes Polri, Kombes Pol. Dani Kustoni mengatakan sejauh ini para pelaku penipuan online yang ditangkap belum banyak yang memiliki kemampuan teknis seperti hacking dalam melakukan aksinya.
Salah satu kelihaian pelaku adalah mengontak korban lalu berhasil mendekati secara pribadi dan berkomunikasi intens dengan para korban via jaringan percakapan pribadi seperti WhatsApp.
Pada level ini, kata Kombes Dani, korban bersedia memenuhi syarat-syarat yang diminta pelaku seperti memberikan data dan informasi sampai transfer rekening.
"Pendalaman kami di beberapa kasus terus belum sampai ke kemampuan teknisnya. Yang jelas pada kasus terbaru, pelaku sampai menggunakan ponsel di dalam penjara mengontrol rekannya di luar. Kalau ada laporan kami akan menindaklanjuti," ujarnya.
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.