Pengalaman menghadapi hoaks yang dihadapi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin
Jakarta, Cyberthreat.id - Analis politik Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah Putra, mengatakan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin akan menghadapi masalah hoaks sebagaimana yang pernah dihadapi pemerintahan sebelumnya Jokowi-Jusuf Kalla.
"Sangat mungkin Jokowi-Ma'ruf Amin (akan kembali) menghadapi hoaks dan cara menghadapinya pun mungkin tidak akan berubah," kata Dedi kepada Cyberthreat.id di Jakarta, Minggu (30 Juni 2019).
Dedi menilai hoaks bukan perkara mudah bagi pemerintah. Pengalaman Jokowi-JK pada pemerintahan periode 2014-2019 mengatakan demikian.
Hoaks, jika dibiarkan akan merusak, tapi kalau dihadapi dengan represif tentu akan berhadapan dengan kebebasan publik.
Solusi jangka panjang menurut Dedi adalah literasi dan pendidikan terhadap publik. Tidak hanya masuk kurikulum pendidikan, tapi publik harus diajarkan dengan contoh dan etika yang benar dalam bermedia sosial.
"Dan ini akan menjadi tugas berat pemerintah menyusun agenda pendidikan nasional ke depan," ujarnya.
Solusi lain adalah pendekatan regulasi yang selama ini digunakan untuk menghadapi hoaks, tapi tidak hanya menyasar kelompok yang dianggap kontra dengan pemerintah. Bahkan ada kecenderungan hoaks digunakan untuk lawan politik.
"Undang-undang harus sanggup membedakan mana hoaks yang implikasinya berbahaya, dan mana yang sekedar "ketidakbenaran" informasi. Hanya dengan cara itu penanganan hoaks tidak melukai kebebasan ekspresi publik."
Harus diakui hoaks yang beredar di ruang siber nasional memang banyak yang bertujuan mendiskreditkan pemerintah. Ini diakui Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara yang mengatakan bahwa hoaks paling banyak adalah terkait politik.
Dari sisi teknis Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) bisa diandalkan menangani hoaks dengan mengembangkan riset atau algoritma anti-hoaks sebagaimana yang telah dilakukan oleh negara-negara yang berhadapan dengan hoaks.
"Sebelumnya penanganan hoaks dari pemerintah cenderung menyenangi cara pembatasan internet atau media sosial dibanding mengelolanya dengan pendekatan humanis."
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.