Kepolisian Republik Indonesia berencana menerapkan teknologi pengenalan wajah atau Automated Facial Recoginition (AFR) untuk membantu penegakan hukum.
Jakarta, Cyberthreat.id – Kepolisian Republik Indonesia berencana menerapkan teknologi pengenalan wajah atau Automated Facial Recoginition (AFR) sebagai alat untuk membantu dalam penegakan hukum di Indonesia.
Rencana itu disampaikan langsung oleh Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Asep Adi Saputra, saat dihubungi Cyberthreat.id di Jakarta, Rabu (12 Juni 2019).
“AFR akan digunakan di kepolisian, sementara ini bekerja sama dengan stakeholder dalam negeri yang sudah menggunakan, seperti imigrasi dan bandara,” tutur Asep.
Berita Terkait:
Asep mengatakan, teknologi AFR dipakai sebagai alat untuk untuk mengenali orang-orang yang diduga atau diketahui melakukan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban nasional.
Mengapa Polri tertarik untuk memakai teknologi AFR? Asep mengatakan, di zaman digital dan teknologi serbacanggih, teknologi semacam AFR sudah menjadi kebutuhan.
Menurut dia, teknologi bisa dipakai untuk menekan angka kriminalitas. Ia mencontohkan saat ini penggunaan teknologi juga sudah diterapkan oleh polri, salah satu, e-tilang.
“Intinya, Polri akan mengikuti perkembangan teknologi yang ada saat ini,” kata dia.
Menyangkut regulasi penggunaan AFR, Asep tidak menjawab dengan spesifik. Ia menekankan, bahwa Polri bekerja berdasarkan Undang-Undang Kepolisian.
“Begini, tugas kepolisian itu kewenangannya dia turut mengawasi masyarakat dan juga bisa memberhentikan dan memeriksa orang sesuai dengan UU Kepolisian. Untuk mendukung itu semua, tentu dengan pendekatan teknologi,” kata Asep.
Berita Terkait:
“Nantinya soal penerapan teknologi ini akan dibicarakan lagi dengan stakeholder terkait lebih lanjut seperti Kementerian Kominfo, semua harus terintegrasi,” ia menambahkan.
Seperti diketahui, teknologi AFR telah diadopsi di sejumlah negara di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Teknologi ini biasanya dipakai di bandara, wilayah perbatasan, atau tempat keramaian, seperti konser musik untuk mendeteksi orang-orang yang terindikasi masuk daftar kriminalitas. Teknologi ini juga menuai protes karena dikhawatirkan salah mendeteksi wajah seseorang sehingga memungkinkan salah tangkap.
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.