Sejumlah kalangan menggulirkan penggunaan sistem e-voting pada pemilu mendatang. Teknologi ini diyakini bisa mengurangi masalah teknis yang ditangani petugas.
Jakarta, Cyberthreat.id – Pemilihan Umum serentak 2019 telah lebih dari sepekan berlalu. Saat ini, Komisi Pemilihan Umum masih menyelesaikan rekapitulasi penghitungan suara dari berbagai daerah.
Media sosial riuh rendah soal kesalahan tim KPU dalam input data. Di situs web KPU masih ditemukan kesalahan data yang tak sesuai dengan formulir C1; bukti pemungutan di tiap-tiap tempat pemungutan suara.
Di tengah kisruh itu, meninggalnya ratusan petugas KPU dan Bawaslu di daerah selama pelaksanaan pemungutan suara membuat pemilu kali ini bertambah pelik.
Wacana revisi Undang-Undang Pemilu pun bergulir. Intinya, sejumlah kalangan baik aktivis, politisi, dan pejabat menilai pemilu serentak harus dipisah. Pemisahan antara pilpres dan pileg diyakini akan mengurangi banyak masalah.
Muncul pula wacana penggunaan voting elektronik atau e-voting agar segera dipakai dalam pemilu. Teknologi ini diyakini bisa mengurangi masalah teknis yang ditangani petugas usai pemungutan suara.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah menciptakan alat e-voting. Penerapan alat ini sudah dilakukan sejak 2013 di pemilihan kepala desa. Hingga 2018, pilkades yang menggunakan sistem e-voting sebanyak 981 desa di 18 kabupaten yang tersebar di 11 provinsi.
Ada dua alasan, menurut klaim BPPT, bahwa sistem pemungutan suara dengan e-voting lebih menguntungkan daripada sistem konvensional pakai kertas, antara lain:
EFISIENSI WAKTU
Penggunaan e-voting dapat mempercepat proses pemungutan suara dengan cara: One Touch, One Vote. Selain itu, memudahkan dalam penghitungan suara. Yang lebih adalah menjaga keaslian suara pemilih dan akurasi penghitungan suara.
EFISIENSI BIAYA
Cukup memiliki seperangkat PC touch screen, printer, smartcard, dan smartcard reader. Tidak memerlukan ribuan lembar kertas surat suara. Perangkat juga bisa digunakan berulang tiap pemilu.
Seperti dikutip dari pamflet yang diedarkan BPPT, Jumat (26/4/2019), yang dibutuhkan pemilih saat memilih adalah KTP elektronik (KTP-el) dan tak ada kertas undangan mencoblos (formulir C6). Ada empat langkah dalam pemungutan suara e-voting, seperti berikut:
Pertama, datang ke TPS membawa KTP-el. Pemilih akan diverifikasi melalui alat baca KTP-el untuk mencegah pemilih ganda, pemilih fiktif, dan merekam kecurangan hak pilih.
Kedua, pastikan terdaftar sebagai daftar pemilih tetap sesuai KTP dan mendapatkan smartcard dari petugas.
Ketiga, masuk ke bilik suara yang telah disediakan alat e-voting. Caranya, masukkan smartcard ke alat pembaca smartcard reader yang bisa dibantu petugas. Lalu, pilih dengan klik foto/gambar kandidat yang tersedia di layar komputer. Terakhir, ambil kertas pilihan yang keluar dari printer.
Keempat, masukkan kertas memilih/audit pada kotak audit dan berikan smartcard yang sudah terpakai ke petugas.
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.