Membayar uang tebusan untuk decryptor tidak dianjurkan.
Cyberthreat.id – Ransomware sedang menjadi tren di kalangan penjahat siber. Serangannya berupa mengunci data korban setelah mencurinya terlebih dulu. Mereka lalu meminta uang tebusan kepada korban jika file-file terenkripsi itu ingin kembali. Jika tak ada pembayaran, data tersebut bakal dipublikasikan di dark web.
Geng ransomware Conti, misalnya, pada Desember lalu menyerang Bank Indonesia Cabang Bengkulu. Sebanyak 16 komputer, menurut Badan Siber dan Sandi Negara, terkena dampak dengan terenkripsi sehingga mengubah nama extension file menjadi, seperti Sender2.exe, v2.exe, dan v2c.exe.
Perusahaan keamanan siber ESET menyebutkan sepanjang 2021 alat pendeteksi mengamati ratusan serangan ransomware Conti di dunia, tapi “hanya sedikit yang terdeteksi di Indonesia”.
ESET mendeteksi perangkat lunak jahat (malware) itu dengan nama “W32/Filecoder.ConƟ” sejak kemunculannya pada 2020, kata IT Security Consultant ESET Indonesia, Yudhi Kukuh, menanggapi serangan Conti ke Bank Indonesia, dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (21 Januari 2022).
Kukuh menyebut Conti termasuk geng ransomware yang berpendapatan tinggi berdasarkan temuan Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN), sebuah biro di Kementerian Keuangan AS yang fokus pada analisis informasi kejahatan keuangan. Conti menyerang menggunakan banyak vektor. Peretas bisa menginfeksi komputer korban melalui akses jarak jauh (RDP) yang salah dikonfigurasi atau tidak terlindungi dengan baik oleh pemilik sistem.
Bisa pula, serangan dari kredensial akses yang dibeli atau dicuri hingga eksploitasi kerentanan kritis yang baru diungkap ke publik (CVE), seperti Log4Shell (kerentanan pada plugin Apache Log4J) atau ProxyShell (kerentanan pada peranti Microsoft Exchange Server).
Berikut ini delapan tips mengamankan jaringan agar terhindar dari serangan ransomware, menurut ESET.
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.