Batasan waktu penggunaan gawai pada anak harus ketat. Orangtua juga harus tahu aplikasi apa saja yang ada di ponsel anak dan kebiasaan anak dalam berinternet.
Jakarta, Cyberthreat.id - Perlu adanya batasan waktu bagi anak dalam bermain gawai agar tidak memberikan dampak buruk.
Kepala Sub Direktorat Masalah Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja dr Lina R Mangaweang mengatakan, pemberlakuan batasan waktu penggunaan gawai pada anak harus ketat. Ia mencontohkan, tidak memberikan gawai pada anak dalam rentang usia 0-6 bulan.
"Usia 0-6 bulan kalau bisa jangan dulu diperkenalkan. Pada usia 1-2 tahun boleh sedikit-sedikit dikasih lihat, tapi jangan lebih dari satu jam," kata Lina dalam bincang-bincang di Kementerian Kesehatan yang dikutip di Jakarta, Kamis (1 Agustus 2019).
Sementara untuk anak dengan usia di bawah enam tahun, orangtua sudah harus melakukan pengawasan terhadap penggunaan gawai. Jika anak di usia enam tahun sudah mulai bermain game, orangtua harus mengetahui jenis game apa yang dimainkan.
"Pastikan bukan permainan yang bersifat kekejaman atau kekerasan," kata dia.
Lina menuturkan, orangtua juga harus mengetahui aplikasi apa saja yang ada di ponsel anak dan kebiasaan anak dalam menggunakan internet. Jika anak mengakses internet dari komputer, kata Lina, komputer tersebut harus ditempatkan di ruang keluarga dan bukan di kamar anak agar bisa terpantau.
Kecanduan atau adiksi terhadap game online (daring) bisa memengaruhi psikis anak jika berlangsung secara terus menerus dan tidak dibatasi.
Dampak psikis yang terjadi pada anak akibat kecanduan game bisa membuatnya menjadi cemas, mudah tersinggung, dan mengakibatkan konsentrasi yang menurun.
Lina menjelaskan kecanduan terhadap game yang tidak teratasi bisa mengganggu fungsi otak, seperti fungsi kognitif, serta fungsi eksekutif yang berpengaruh dalam proses merencanakan dan menentukan.
"Keterampilan sosialnya bisa berkurang karena sering bermain game online. Anak bisa menjadi egosentris, individualistik, dan nantinya akan kesulitan bekerja bersama dalam kelompok," kata Lina seperti dikutip dari Antaranews.com.
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.