Di Eropa, sebuah perusahaan yang datanya bocor saham dan penjualannya anjlok. Di Indonesia, ada kebocoran data yang muncul berbagai alasan.
Jakarta, Cyberthreat.id - IT Security Consultant PT Prosperita-ESET Indonesia, Yudhi Kukuh, mengatakan budaya keamanan siber (cybersecurity) di berbagai belahan dunia berbeda-beda.
Kondisi itu, kata dia, tergantung sejauh mana masyarakat sebuah negara dalam menggunakan/mengaplikasikan teknologi di level advanced yang dampaknya dirasakan oleh masyarakat luas.
"Kalau kita bandingkan sebenarnya ini masalah budaya dan pemahaman masyarakat. Misalnya antara Eropa dan Indonesia itu beda jauh," kata Yudhi di Jakarta, Rabu (31 Juli 2019).
Yudhi menilai mayoritas masyarakat Eropa sudah mulai memahami esensi dan pentingnya keamanan siber di era digital dan teknologi informasi. Sejumlah regulasi baru muncul untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut seperti General Data Protection Regulation (GDPR).
Sebaliknya di Indonesia, kata dia, cybersecurity masih belum mendapatkan tempat meskipun masyarakat sudah masuk ke era teknologi yang lebih jauh seperti masifnya penggunaan media sosial hingga pembayaran digital.
"Di Eropa kalau misalnya sebuah perusahaan datanya bocor, itu bisa anjlok sahamnya dan penjualannya. Coba bandingkan di Indonesia. Kemarin ada yang datanya bocor masih banyak excuse (alasan)."
Yudhi menilai sudah saatnya pemerintah Indonesia mengambil sikap sebagai regulator dalam mengatur ruang siber. Misalnya menekankan standar minimum keamanan di infrastruktur kritis nasional atau layanan publik. Hal itu, kata dia, tidak dimiliki Eropa.
"Eropa itu kesadarannya tinggi sekali sehingga perusahaan/organisasi di sana sudah berusaha mengamankan diri masing-masing. Regulasinya juga lengkap. Salah satunya terkait persaingan usaha."
Draf RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (RU KKS) sudah beredar di masyarakat. Yudhi mengatakan ia sempat membaca RUU tersebut yang di dalamnya menekankan fungsi pemerintah sebagai regulator seperti menerapkan standar minimum cybersecurity.
"Misalnya kalau mengalami kebocoran data melapor ke pemerintah, kemudian saya juga temukan standar keamanan minimum dan lainnya. Intinya, kalau ini menjadi solusi ya memang kita sangat memerlukan."
Demokratisasi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence; AI), pada dasarnya, adalah memperluas aksesibilitas teknologi AI ke basis pengguna yang lebih luas.
Di tengah latar belakang ini, ada aspek penting yang secara halus terjalin dalam narasinya, yaitu penanganan identitas non-manusia.
"Karena kita hidup di era digital, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih produktif," tambah Nezar.